Mentari pagi bersinar
dengan riang, memberi kehangatan kepada seluruh penghuni bumi. Seharusnya semua
orang bahagia meyambut mentari pagi yang menyenangkan itu namun, berbeda dengan
aku. Aku selalu merasa kesepian disini. Namaku Nadira Amalia, orang-orang biasa
menyapaku Dira, usiaku masih 4 tahun. Aku adalah seorang anak kecil yang tinggal
di sebuah perumahan sederhana. Tetanggaku rata-rata adalah anak kuliahan dan
orang yang sudah bekerja. Jadi, kalian mengertikan mengapa aku merasa kesepian?
Aku tidak punya teman seusiaku untuk diajak bermain, dan kesibukan ayah di
kantornya membuatnya jarang dapat bermain bersamaku.
“Hay! Namaku Jeje. Kamu
siapa?” sapa seorang anak kecil berambut kuncir dua dengan senyum riangnya.
Disebelahnya ada seorang laki-laki tua menggandeng lembut tangan mungilnya.
“Oh! Mungkin suara orang yang kukira penjahat itu adalah ayahnya.” Pikirku.
Dengan senang hati aku segera menjawab sapaan anak kecil itu, senyum lebar
mengembang di kedua pipiku, kuperkenalkan diriku padanya dan mulai mengajaknya
bermain. Dan sejak saat itulah aku tidak merasa kesepian lagi karena ada Jeje. Dialah
sahabatku, Jenisha Mahaputri, atau yang biasa disapa Jeje. Usia kami yang hanya
berjarak beberapa bulan membuat kami lebih cepat akrab satu sama lain.
Itulah peristiwa 11
tahun yang lalu, pertemuan pertamaku dengan sahabat terbaikku, Jeje. Kini, kami
sama-sama sudah beranjak remaja. Apapun selalu kami lakukan bersama, mulai dari
berangkat sekolah, pergi les, dan masih banyak lagi. Kemanapun kami selalu
bersama sampai-sampai banyak orang yang mengira kami adalah anak kembar,
padahal wajah kami sama sekali tidak mirip.
Hari ini berbeda dengan
hari biasanya, aku memilih berangkat sekolah sendiri. Pikiranku sedang kacau
dan aku sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun, jadi aku lebih memilih
menyendiri. Aku bingung apa yang harus aku katakana pada Jeje sekarang, hal ini
terlalu berat bagiku. Andai aku bisa menolaknya, sudah kutolak dari dulu. Tak
lama akupun sampai di sekolah, ini masih terlalu pagi, hanya ada aku dan
seorang teman sekelasku bernama Tion di kelas.
“Dir, bukannya sekarang ulang tahunnya
Jeje? Enaknya diapain nih?” celetuk Tion tiba-tiba sudah duduk di bangku
sebelahku.
“Apa
yang dikatakannya barusan? Ulang tahun Jeje? Hey!! Tanggal berapa sekarang?
Yaampun Jeje maafkan aku lupa!!” pekikku dalam hati,
kupukul-pukul kepalaku sendiri seperti orang gila. “Hey dir kenapa? Jangan gila
gitu dong!” kata Tion aneh memandangku
“Ehehe. Aku lupa kalo hari ini ulang
tahunnya Jeje yon.” Jawabku polos sambil menyengir lebar. Tion hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuanku.
Tak
lama kemudian, Jeje sampai di kelas, wajahnya begitu muram, antara sedih dan
kesal dengan seseorang, dan aku yakin orang itu adalah aku. Tadi pagi aku sudah
meninggalkannya berangkat sekolah dan bahkan aku sampai sekarang belum
mengucapkan ‘Selamat Ulang Tahun’
padanya. Tanpa basa-basi langsung saja aku peluk dia, tak peduli seisi kelas
menatap kami aneh, yang jelas aku ingin meminta maaf padanya atas dua
kesalahannya hari ini, belum lagi berita yang akan aku beritahu padanya hari
ini.
“Dir, ada apa? Dari kemarin aneh banget.
Diem-diem mulu, biasanya kan banyak omong. Ada masalah?” Tanya Jeje saat kami
sedang duduk-duduk di taman sekolah.
“Ngga kenapa Je. Emang lagi males
ngomong aja. Eh, ntar malem nginep dirumah yuk? Ayah ngga pulang lagi malem
ini.” Ajakku, sebenarnya ada hal penting yang ingin aku katanya padanya.
“Okeh bos!” katanya sambil tertawa
berusaha mengajakku bercanda, aku hanya membalasnya dengan senyum singkat. Aku
benar-benar sedang sedih, dan hal itu membuatku susah untuk tertawa.
Malam
haripun tiba, Jeje datang kerumahku. Aku sudah menyiapkan sebuah kue tart
untuknya, tentu saja untuk merayakan ulang tahunnya bersama-sama. Kami
merayakannya bersama, mulai dari menyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun’, memotong kue, membuat permohonan dan
lainnya. Jam dinding pun sudah menunjukkan pukul 11 malam. Semua kegiatan sudah
kami lakukan, dan disinilah sekarang kami, terbaring lemas di kamar
kesayanganku. Kami sama-sama menatap langit-langit kamarku yang dipenuhi dengan
stiker-stiker aneh yang sering tempelkan sewaktu kecil.
“Yah, stikernya banyak yg pudar dir,
besok beli lagi yuk. Tempel lagi di langit-langit kamarmu ini.” Celetuk Jeje
riang. Aku hanya diam sambil menoleh kearahnya, tak menjawab pertanyaannya, aku
bingung harus menjawab apa. Merasa tidak ada respon, Jeje menoleh ke arahku
dengan tatapan bingung.
“Dir, ada apa sih? Kamu aneh banget
belakangan ini.” Tanya Jeje panik.
“Je, aku mau pindah ke Surabaya besok.”
Kataku singkat, kutundukkan kepalaku, menahan tangis yang sudah di pelupuk
mataku. Tak ada jawaban sama sekali dari Jeje. Sedetik kemudian, terdengar
suara sesenggukkan, aku tahu Jeje pasti menangis. Ini hari ulang tahunnya dan
aku malah memberikannya kabar buruk. Sahabat macam apa aku ini.
“Dir, jangan becanda, ulang tahunku udah
hampir lewat, masak ngerjainnya baru sekarang?” kata Jeje sambil sesenggukkan
“Je, maaf ya. Aku juga baru tau seminggu
yang lalu. Sebenernya udah mau ngasi tau dari kemarin tapi ya aku susah
bilangnya.” Jelasku berusaha tersenyum. Kuraih tubuh sahabat tersayangku itu,
kupeluk sangat erat, entah ini sebagai perpisahan terakhir atau ketidak
inginanku untuk pergi.
“Diraaaa!!” pekiknya pelan. Aku tahu ini
akan terjadi, sebelum mengatakan hal ini pada Jeje, akupun merasakan hal yang
sama. Jeje adalah sahabat pertamaku, Jeje adalah orang yang pertama kali
menghilangkan rasa kesepianku sejak kecil, dan sekarang aku haru berpisah
dengannya setelah lebih dari 10 tahun kami bersama. Tentu saja itu hal yang
sangat berat. Kuelus lembut kepalanya.
“Maaf Je. Tenang aja, aku janji ini
bukan perpisahan buat kita. Nanti kalo aku udah bisa ngasilin uang sendiri, aku
janji aku bakal balik kesini buat ketemu kamu. Maaf kalo ini jadi kado
terburukmu ya.” Jeje hanya diam saja, mungkin dia masih sedih dan sedang tidak
ingin banyak bicara, sama seperti yang aku alami beberapa hari belakangan ini.
Keesokkan
harinya, pagi ini hujan turun. Sepertinya langit sudah tahu kalau aku sedang
bersedih. Dengan segera aku memasukkan semua barang-barangku ke dalam mobil,
karena pesawat yang akan kutumpangi akan berangkat pagi sekali. Tanpa menunggu
Jeje, aku dan ayah segera berangkat menuju bandara. Aku sudah sangat yakin
bahwa Jeje tak akan datang, dia memiliki kelainan pada paru-parunya yang
membuatnya tidak boleh terkena hujan atau udara dingin karena akan menggangu pernapasannya.
Aku pasrah saja di hari terakhirku tidak bertatap muka dengan Jeje. Sesampainya
di bandara, aku segera mengikuti ayah untuk naik ke pesawat.
“Diraaaaa!!” suara nyaring seseorang
menghentikan langkahku, aku sangat mengenali suara nyaring itu. Segera
kutolehkan badanku dan dengan senyum lebar kuhampiri si pemilik suara itu,
siapa lagi kalau bukan Jeje. Kamipun berpelukkan.
“Dira kenapa ndak nungguin aku dulu sih!
Dir, kita kan sekarang udah jauh, inget ngabar-ngabarin aku ya. Jangan sombong.
Setiap pertemuan itu pasti ada perpisahan, tapi kalo emang kita masih pengen buat
deket pasti bakalan deket terus kok.” Ucap Jeje sambil masih memelukku erat.
Aku menggangguk pasti. Lalu kulepaskan pelukkanku setelah mendengar suara
panggilan ayah dari jauh.
“Iya aku ngga bakal lupa sama kamu Je.
Tenang aja. Inget kalo disuruh check up jangan suka kabur lagi.” Pesanku
terakhir padanya.
nice! want to follow each other dear? :)
BalasHapushttp://choccopost.blogspot.com/
Okay ;)
BalasHapus