Kamis, 11 Oktober 2012

Cerpen : Sahabat Pertamaku


Mentari pagi bersinar dengan riang, memberi kehangatan kepada seluruh penghuni bumi. Seharusnya semua orang bahagia meyambut mentari pagi yang menyenangkan itu namun, berbeda dengan aku. Aku selalu merasa kesepian disini. Namaku Nadira Amalia, orang-orang biasa menyapaku Dira, usiaku masih 4 tahun. Aku adalah seorang anak kecil yang tinggal di sebuah perumahan sederhana. Tetanggaku rata-rata adalah anak kuliahan dan orang yang sudah bekerja. Jadi, kalian mengertikan mengapa aku merasa kesepian? Aku tidak punya teman seusiaku untuk diajak bermain, dan kesibukan ayah di kantornya membuatnya jarang dapat bermain bersamaku.
Hari ini pun sama seperti hari-hari biasanya. Sepulang dari sekolah, aku selalu bermain sendiri di taman kompleks. Dan tentu saja hal ini selalu menjadi membosankan. “Aku ingin punya teman bermain.” Keluhku sambil terduduk di tumpukan pasir. Aku terus termenung sendirian disana sampai tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. “Hay!” Sapa orang asing itu. Suara orang itu begitu berat, begitu asing dan menakutkan, membuatku tak berani menoleh sedikitpun. Dia menepuk pundakku sekali lagi, aku tak bergeming, aku begitu takut jika orang itu akan berbuat jahat padaku. “Hay teman!” tiba-tiba suara nyaring seorang anak kecil terdengar dan berhasil membuatku membalikkan badanku.
“Hay! Namaku Jeje. Kamu siapa?” sapa seorang anak kecil berambut kuncir dua dengan senyum riangnya. Disebelahnya ada seorang laki-laki tua menggandeng lembut tangan mungilnya. “Oh! Mungkin suara orang yang kukira penjahat itu adalah ayahnya.” Pikirku. Dengan senang hati aku segera menjawab sapaan anak kecil itu, senyum lebar mengembang di kedua pipiku, kuperkenalkan diriku padanya dan mulai mengajaknya bermain. Dan sejak saat itulah aku tidak merasa kesepian lagi karena ada Jeje. Dialah sahabatku, Jenisha Mahaputri, atau yang biasa disapa Jeje. Usia kami yang hanya berjarak beberapa bulan membuat kami lebih cepat akrab satu sama lain.
Itulah peristiwa 11 tahun yang lalu, pertemuan pertamaku dengan sahabat terbaikku, Jeje. Kini, kami sama-sama sudah beranjak remaja. Apapun selalu kami lakukan bersama, mulai dari berangkat sekolah, pergi les, dan masih banyak lagi. Kemanapun kami selalu bersama sampai-sampai banyak orang yang mengira kami adalah anak kembar, padahal wajah kami sama sekali tidak mirip.
Hari ini berbeda dengan hari biasanya, aku memilih berangkat sekolah sendiri. Pikiranku sedang kacau dan aku sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun, jadi aku lebih memilih menyendiri. Aku bingung apa yang harus aku katakana pada Jeje sekarang, hal ini terlalu berat bagiku. Andai aku bisa menolaknya, sudah kutolak dari dulu. Tak lama akupun sampai di sekolah, ini masih terlalu pagi, hanya ada aku dan seorang teman sekelasku bernama Tion di kelas.
“Dir, bukannya sekarang ulang tahunnya Jeje? Enaknya diapain nih?” celetuk Tion tiba-tiba sudah duduk di bangku sebelahku.
“Apa yang dikatakannya barusan? Ulang tahun Jeje? Hey!! Tanggal berapa sekarang? Yaampun Jeje maafkan aku lupa!!” pekikku dalam hati, kupukul-pukul kepalaku sendiri seperti orang gila. “Hey dir kenapa? Jangan gila gitu dong!” kata Tion aneh memandangku
“Ehehe. Aku lupa kalo hari ini ulang tahunnya Jeje yon.” Jawabku polos sambil menyengir lebar. Tion hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuanku.
            Tak lama kemudian, Jeje sampai di kelas, wajahnya begitu muram, antara sedih dan kesal dengan seseorang, dan aku yakin orang itu adalah aku. Tadi pagi aku sudah meninggalkannya berangkat sekolah dan bahkan aku sampai sekarang belum mengucapkan ‘Selamat Ulang Tahun’ padanya. Tanpa basa-basi langsung saja aku peluk dia, tak peduli seisi kelas menatap kami aneh, yang jelas aku ingin meminta maaf padanya atas dua kesalahannya hari ini, belum lagi berita yang akan aku beritahu padanya hari ini.
“Dir, ada apa? Dari kemarin aneh banget. Diem-diem mulu, biasanya kan banyak omong. Ada masalah?” Tanya Jeje saat kami sedang duduk-duduk di taman sekolah.
“Ngga kenapa Je. Emang lagi males ngomong aja. Eh, ntar malem nginep dirumah yuk? Ayah ngga pulang lagi malem ini.” Ajakku, sebenarnya ada hal penting yang ingin aku katanya padanya.
“Okeh bos!” katanya sambil tertawa berusaha mengajakku bercanda, aku hanya membalasnya dengan senyum singkat. Aku benar-benar sedang sedih, dan hal itu membuatku susah untuk tertawa.
            Malam haripun tiba, Jeje datang kerumahku. Aku sudah menyiapkan sebuah kue tart untuknya, tentu saja untuk merayakan ulang tahunnya bersama-sama. Kami merayakannya bersama, mulai dari menyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun’, memotong kue, membuat permohonan dan lainnya. Jam dinding pun sudah menunjukkan pukul 11 malam. Semua kegiatan sudah kami lakukan, dan disinilah sekarang kami, terbaring lemas di kamar kesayanganku. Kami sama-sama menatap langit-langit kamarku yang dipenuhi dengan stiker-stiker aneh yang sering tempelkan sewaktu kecil.
“Yah, stikernya banyak yg pudar dir, besok beli lagi yuk. Tempel lagi di langit-langit kamarmu ini.” Celetuk Jeje riang. Aku hanya diam sambil menoleh kearahnya, tak menjawab pertanyaannya, aku bingung harus menjawab apa. Merasa tidak ada respon, Jeje menoleh ke arahku dengan tatapan bingung.
“Dir, ada apa sih? Kamu aneh banget belakangan ini.” Tanya Jeje panik.
“Je, aku mau pindah ke Surabaya besok.” Kataku singkat, kutundukkan kepalaku, menahan tangis yang sudah di pelupuk mataku. Tak ada jawaban sama sekali dari Jeje. Sedetik kemudian, terdengar suara sesenggukkan, aku tahu Jeje pasti menangis. Ini hari ulang tahunnya dan aku malah memberikannya kabar buruk. Sahabat macam apa aku ini.
“Dir, jangan becanda, ulang tahunku udah hampir lewat, masak ngerjainnya baru sekarang?” kata Jeje sambil sesenggukkan
“Je, maaf ya. Aku juga baru tau seminggu yang lalu. Sebenernya udah mau ngasi tau dari kemarin tapi ya aku susah bilangnya.” Jelasku berusaha tersenyum. Kuraih tubuh sahabat tersayangku itu, kupeluk sangat erat, entah ini sebagai perpisahan terakhir atau ketidak inginanku untuk pergi.
“Diraaaa!!” pekiknya pelan. Aku tahu ini akan terjadi, sebelum mengatakan hal ini pada Jeje, akupun merasakan hal yang sama. Jeje adalah sahabat pertamaku, Jeje adalah orang yang pertama kali menghilangkan rasa kesepianku sejak kecil, dan sekarang aku haru berpisah dengannya setelah lebih dari 10 tahun kami bersama. Tentu saja itu hal yang sangat berat. Kuelus lembut kepalanya.
“Maaf Je. Tenang aja, aku janji ini bukan perpisahan buat kita. Nanti kalo aku udah bisa ngasilin uang sendiri, aku janji aku bakal balik kesini buat ketemu kamu. Maaf kalo ini jadi kado terburukmu ya.” Jeje hanya diam saja, mungkin dia masih sedih dan sedang tidak ingin banyak bicara, sama seperti yang aku alami beberapa hari belakangan ini.
            Keesokkan harinya, pagi ini hujan turun. Sepertinya langit sudah tahu kalau aku sedang bersedih. Dengan segera aku memasukkan semua barang-barangku ke dalam mobil, karena pesawat yang akan kutumpangi akan berangkat pagi sekali. Tanpa menunggu Jeje, aku dan ayah segera berangkat menuju bandara. Aku sudah sangat yakin bahwa Jeje tak akan datang, dia memiliki kelainan pada paru-parunya yang membuatnya tidak boleh terkena hujan atau udara dingin karena akan menggangu pernapasannya. Aku pasrah saja di hari terakhirku tidak bertatap muka dengan Jeje. Sesampainya di bandara, aku segera mengikuti ayah untuk naik ke pesawat.
“Diraaaaa!!” suara nyaring seseorang menghentikan langkahku, aku sangat mengenali suara nyaring itu. Segera kutolehkan badanku dan dengan senyum lebar kuhampiri si pemilik suara itu, siapa lagi kalau bukan Jeje. Kamipun berpelukkan.
“Dira kenapa ndak nungguin aku dulu sih! Dir, kita kan sekarang udah jauh, inget ngabar-ngabarin aku ya. Jangan sombong. Setiap pertemuan itu pasti ada perpisahan, tapi kalo emang kita masih pengen buat deket pasti bakalan deket terus kok.” Ucap Jeje sambil masih memelukku erat. Aku menggangguk pasti. Lalu kulepaskan pelukkanku setelah mendengar suara panggilan ayah dari jauh.
“Iya aku ngga bakal lupa sama kamu Je. Tenang aja. Inget kalo disuruh check up jangan suka kabur lagi.” Pesanku terakhir padanya.

2 komentar: